Thursday 21 July 2016

Catatan Bali 2016

Saya sudah sering ke Bali. Tapi perjalanan kemarin sedikit berbeda. Bagi Elle dan Dee, Bali kali ini berarti pelukan sang papa. Sementara bagi saya, awalnya saya hanya berharap ini liburan biasa. Refreshing. Ternyata saya salah! Bali kali ini lebih dari sekedar liburan. Bali kali ini adalah pelajaran berharga bagi saya. Perjalanan penuh kejutan.     

Kami sudah merencanakan perjalanan ini sejak beberapa bulan yang lalu. Rencana besarnya adalah merayakan ulang tahun Elle di Bali. 

Setibanya kami di bandara Ngurah Rai, Bali.
Ini merupakan pertemuan Elle dan Dee bersama Geyi, sang papa setelah lebih dari setahun mereka berpisah. Bisa dibayangkan bagaimana haru biru pertemuan mereka di bandara :) 

Setiba di sana, sesuai kesepakatan Geyi dan saya sebelumnya, Elle dan Dee akan tinggal bersama Geyi selama liburan ini. Sementara saya tinggal bersama kakak saya -yang saya panggil Bu. Dan oleh Elle dan Dee disapa Ombu- yang juga bekerja di Bali.

Sejauh ini saya senang melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata dan raut wajah Elle dan Dee. Malam pertama di Bali, saya berdoa. Sederhana saja; semoga liburan kali ini bisa membahagiakan Elle dan Dee. Bisa menggantikan waktu mereka selama setahun tanpa Geyi. Dan itu memang harapan saya. Harapan seorang mama yang merasa bersalah karena -bukan sengaja- memisahkan anak-anak dari sang papa. 

Walau kami tinggal terpisah, tapi Elle dan Dee menikmati hari-hari mereka dengan gembira dan berlimpah kasih sayang. Kami merayakan ulang tahun Elle hanya berempat. Jauh dari keramaian. Setiap hari kami bertemu. Kami berempat menghabiskan waktu dengan normal selayaknya liburan keluarga 'bahagia' lainnya. 

Lokasi: Karangasem, Bali Timur
Mengapa saya menggunakan kata 'normal'? Karena hubungan kami memang tidak 'normal' sebagaimana seharusnya sebuah keluarga 'normal'. Geyi dan saya sudah hidup terpisah sejak 2013, dan sejak saat itu, Elle dan Dee tinggal bersama saya. Itu sebabnya liburan kali ini 'penting' bagi kami. 

Sebagai orang tua, Geyi dan saya ingin sekali membuktikan bagi Elle dan Dee bahwa walaupun mereka tidak hidup dalam keluarga yang utuh, walaupun papa dan mama tidak lagi bersama dalam ikatan suami istri, namun Elle dan Dee tak kalah bahagia dibanding mereka yang hidup bersama papa dan mama. Bahkan saya -dengan segala 'kekuatan' yang saya miliki- ingin membuktikan bahwa Elle dan Dee mungkin saja lebih bahagia dibanding teman-teman mereka yang tumbuh dalam keluarga 'normal'. 

Khusus bagi Elle, pada usianya yang keempatbelas, Geyi dan saya menaruh 'perhatian khusus' selama liburan kemarin. Setelah kami berdua menyepakati beberapa hal, secara terpisah -kepada Elle- kami mengutarakan rencana-rencana kami. Rencana-rencana pribadi yang menyangkut kehidupan kami ke depan, yang tentu saja melibatkan Elle dan Dee. Leganya kami, ketika secara dewasa, Elle bisa memahami keadaan keluarganya. Elle bisa dengan bijaksana menerima keputusan-keputusan papa dan mamanya. Tanpa Elle sadari, saya -dan tentu saja Geyi- bangga terhadap Elle. Satu hal yang selalu kami ingatkan kepada Elle dan Dee, bahwa mereka tidak akan kekurangan sedikitpun kasih sayang dari kami. Kami jamin itu! 

Geyi dan saya sepakat untuk selalu menunjukan di depan Elle dan Dee bahwa hubungan kami baik-baik saja. Bahwa papa dan mama mereka akur. 

Geyi dan Deb-nya Elle dan Dee
Geyi bahkan berkali-kali mengatakan pada Elle dan Dee bahwa kami saling menyayangi, walaupun hubungannya berbeda dari hubungan orang tua pada umumnya. Dan benar apa yang dikatakan Geyi. Saya merasakannya. Kami berdua memang saling menyayangi. Bahkan melebihi cara kami saling menyayangi sebelumnya. Inilah inti dari apa yang ingin saya bagi melalui tulisan ini. Saya belajar terlalu banyak dari perjalanan kami kemarin. 

Saya memang gagal menjadi istri. Tapi saya tidak gagal menjadi mama. Saya memang gagal mempertahankan hubungan rumah tangga. Tapi saya tidak gagal dalam menjalin hubungan baik dengan mantan pasangan. Saya memang gagal memegang janji teguh di depan altar 15 tahun yang lalu. Tapi saya tidak gagal menjalani perintahNYA untuk mangampuni dan tetap mengasihi. Saya memang gagal menjadi contoh bagi Elle dan Dee tentang bagaimana selayaknya menjadi istri yang patuh pada suami. Tapi saya tidak gagal menjadi contoh bagi Elle dan Dee tentang bagaimana menjadi perempuan yang tidak lemah. 

Saya tidak pernah menghakimi mereka yang 'terlihat' hidup rukun dalam ikatan keluarga utuh, maka lewat tulisan ini, saya mohon agar tidak dihakimi atas keputusan-keputusan saya. Dengan segala kerendahan hati, saya mohon agar tidak dihakimi seakan-akan jalan yang saya pilih ini salah. Karena benar atau salahnya keputusan saya, bukan ditentukan oleh siapapun. Alangkah indahnya bila masing-masing manusia saling menghargai dalam relasi horizontal dengan sesama, maupun bertanggungjawab atas relasi vertikalnya dengan sang pencipta tanpa saling menghakimi.
    
Saya ingin berterimakasih bagi semua yang dengan tulus mendoakan hubungan kami. Bagi teman-teman yang dengan tulus berharap kami kembali rujuk sebagai pasangan suami istri. Namun dengan segala kekurangan saya, saya meminta maaf karena kami punya cara sendiri dalam mengambil keputusan. Karena kami sudah sangat bahagia pada tahap di mana kami berada sekarang. Karena kami telah memaknai hubungan kami dengan kedewasaan yang mungkin susah dipahami oleh sebagian orang.

Lewat tulisan ini juga, saya ingin menyatakan bahwa mungkin saja hubungan saya dan mantan pasangan saat ini lebih bahagia dan lebih saling menyayangi daripada hubungan pasangan suami istri yang 'normal'. Mungkin saja :)  
Intinya kami bahagia. Tanpa kemunafikan dan kepura-puraan. Bukankah itu makna kehidupan yang paling hakiki? 

Fantastic four :) 
Demi EM*, Geyi dan saya pernah berjanji untuk menjadi papa dan mama terbaik bagi Elle dan Dee. Dan itu janji yang akan kami buktikan terus dan selamanya kepada Elle dan Dee. Bukan kepada orang lain :) 


Ambon, Juli 2016.


*EM; Panggilan Ezekiel Mischa, anak kedua kami. Malaikat tampan yang kini bahagia di surga.





    
              




Wednesday 10 February 2016

Prahara

Sebenarnya ini bukan tentang kepergianmu. Bukan! Karena aku tau setiap yang datang pasti akan pergi. Dan ini adalah giliranmu.

Yang membuat aku tersentak adalah kenyataan bahwa kepergianmu mampu membuatku setengah mati. Dan aku tak suka itu.

Yang membuat aku kembali tersentak adalah kenyataan bahwa aku –yang selalu sanggup memilih bahagia dalam keadaan apapun- kalah melawan rasa kehilangan akan dirimu.

Dan yang lagi-lagi membuat aku tersentak adalah kenyataan bahwa ternyata kamu pergi bukan tanpa membawa apa-apa. Kamu membawa separuh hatiku! Dan itu jahat, teman!

Yang juga membuat aku tersentak adalah kenyataan bahwa aku terus dan terus mengenangmu. Dan aku tak suka kenangan. Karena kenangan berarti ingatan. Dan ingatan berarti pelukanmu. 

Pelukanmu berarti kenyamanan. Kenyamanan berarti (hanya) sementara. Dan itu kamu; sementara! 




Wednesday 27 January 2016

Teman (se)Jiwa

Akhir – akhir ini aku dikelilingi cinta. Mmm sebenarnya bukan cinta sih, tapi orang-orang yang sedang mabuk. Mabuk cinta :)
Aku senang melihat mereka bahagia. Karena aku percaya, berada di sekeliling orang-orang yang bahagia, akan mendatangkan hal-hal baik. Hal-hal positif. Aura positif :)

Walau aku sudah lama tak mengimani CINTA…

Selama ini satu-satunya CINTA yang aku percaya hanyalah CINTA Yesus kepada manusia, Namun baru-baru ini aku nyaris dikelabui oleh CINTA. Aku nyaris percaya akan eksistensi CINTA antara manusia, Tapi lagi-lagi terbukti bahwa CINTA itu ilusi. Maaf, bagi yang tidak sepaham. Menurut aku, urusan percaya ada atau tidaknya CINTA dalam hubungan horizontal antar manusia, sama halnya dengan urusan keyakinan. Urusan agama. Berbeda-beda.

Lalu aku berpikir, kalau bukan CINTA, apa ini namanya? Perasaan bahagia, cemburu, marah, pasrah, tergantung. berbagi. Semua hal-hal tadi menjadi indah untuk dilakukan. Bersama-sama. Berdua. Aku bisa menjadi apa adanya diriku bila bersamanya. Bertengkar seperti pasangan suami istri, bebas bercerita apa saja seperti sahabat, bersenang-senang selayaknya bocah, dan saling menjaga seperti saudara kandung. Terdengar sangat ideal. 
Apa ini CINTA? Aku nyaris percaya! Namun tiba-tiba, aku tersadar, ini tidak abadi! Tidak ada yang abadi.


Lalu apa namanya keindahan tadi?? Seperti sedang memecahkan soal matematika, berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Aku terus berpikir, apa ini namanya? Kemarin pagi, aku berdiskusi dengan seorang teman tentang CINTA. Dia, adalah penganut fanatik CINTA. Dia percaya CINTA itu nyata. Aku bertanya “How big do you put your trust in LOVE?” Dengan tegas dia menjawab “All of them”, katanya lagi “LOVE doesn’t hurt. Loneliness hurts, rejection hurts, losing someone hurts, envy hurts. Everyone got the things confused with LOVE. The reality is LOVE is the only thing in this world that convers up all pain and makes someone feel wonderful again

Hmmm ulasan yang masuk akal, pikirku. Bukan masuk akal sebenarnya, tapi manusiawi. Aku sempat terdiam dan berpikir benarkah demikian? Hingga pagi tadi! Tiba-tiba aku menyadari satu hal. yaitu tentang pasangan jiwa.

Tentang dia, yang aku ceritakan tadi, aku menganggapnya teman jiwa. Kami memiliki satu jiwa. Kami berbagi jiwa. Karena itu kami bisa tampil apa adanya di depan masing-masing. Kami saling menjaga. Karena kami teman sejiwa. Menjaga dia, sama seperti menjaga jiwaku. Kami berbagi bahagia. Karena bahagianya, adalah bahagiaku. Karena kami teman sejiwa. Pasangan jiwa. Soulmate.

Lalu, mengapa tak bisa hidup bersama? Baru tadi pagi pula aku menemukan jawabannya. Karena teman hidup dan teman jiwa itu berbeda. Berbagi hidup memerlukan yang namanya CINTA. Bayangkan saja bila kita menghabiskan hidup bersama seseorang tanpa rasa CINTA. Tak bahagia pastinya. Aku jamin itu! Kalaupun ada yang mengaku bahagia, maka maaf jika aku tak peracaya. :)


Lain hal dengan teman jiwa. Teman jiwa tak perlu hidup bersama. tak perlu pengakuan semua orang bahwa mereka pasangan. Karena teman jiwa adalah urusan dua jiwa. Tidak lebih. Teman jiwa bukan pilihan. Melainkan reaksi alami yang timbul karena dua jiwa yang saling mengikat. Saling mengisi kebutuhan masing-masing. Kebutuhan jiwa. Yang menurutku lebih penting. 

Alangkah bahagianya bila teman hidup dan teman jiwa adalah sama. Tapi aku tak menyesal, karena seandainya dia adalah juga teman hidupku, belum tentu kami bisa se-terikat ini.

Dan aku tetap bahagia, walau tak berbagi hidup bersamanya.
Karena hidup bisa berakhir tak bersama. Tapi jiwa, tak mungkin saling meninggalkan :)