Thursday 30 April 2015

Testimonial (Sebuah catatan tentang Berlin)

Saya pernah membaca salah satu tulisan Perempuansore pada blognya. Sebuah ungkapan yang terngiang-ngiang; “Ketika ada orang yang ‘pergi’ dari kehidupan kita, baik itu sengaja maupun tidak sengaja, itu karena satu alasan: waktu mereka bersama kita telah selesai”.

Tulisan ini saya gubah dari tulisan lama saya di blog terdahulu* tentang seseorang yang telah ‘pergi’ dari kehidupan saya. Hmm.. atau mungkin sebaliknya saya-lah yang telah ‘pergi’ dari kehidupannya. Atau lebih tepatnya kami saling meninggalkan.

Namanya Berlin. Saya mengenalnya sekitar 15 tahun lalu. Dan menghabiskan sekitar 14 tahun bersamanya. Berbagi kasih sayang, berbagi buah hati, dan dengan tidak main-main berbagi hal yang paling pribadi; HIDUP.

Setelah 14 tahun menjadi teman hidup, kami saling meninggalkan begitu saja. Menyesal? Tidak!


Seperti halnya semua makhluk ciptaanNya, Tuhan menciptakan Berlin dengan keunikannya. Satu hal yang tidak pernah bisa kami kesampingkan selama menjadi teman hidup adalah; ego. Ego menguasai kami hingga kami membangun dunia kami masing-masing. Kami semakin saling menjauh dan tenggelam dalam dunia masing-masing. Sambil sesekali masih saling menyapa, namun semakin menjauh. menjauh. menjauh. Sampai kemudian tidak lagi saling menyapa. Tidak lagi saling peduli.

Suatu saat dia bertanya “Benarkah ‘kita berdua’ pernah ada?” Saya terdiam. Berlin tak pernah bertanya. Dia lebih sering memiliki jawaban atas segala pertanyaan saya. Pertanda apakah ini? Saya menatapnya mencari sesuatu di matanya. Sesuatu yang dulu saya temukan di sana. Namun sekarang tidak ada lagi. Lalu saya berkata padanya “Dulu ‘kita berdua’ nyata. Saya merasakannya. Saya yakin kamu juga. Tapi sekarang tidak lagi. Hanya itu. Semudah itu jawabannya” dia mengangguk lalu kemudian kami lebih jauh berjalan ke arah yang berbeda.

Semakin hari semakin jauh. Kemudian hilang. Sejauh mata memandang, saya tidak menemukan sosoknya lagi.
Saya tidak tau di mana dia berada kini. Namun saya tidak peduli. Saya juga tidak membencinya. Tidak pernah.


Karena saya belajar banyak dari Berlin. Tentang bagaimana mencintai dan dicintai. Tentang bagaimana mengalah (untuk menang) dalam perang. Tentang bagaimana menjaga hati. Tentang bagaimana berjuang untuk sesuatu yang menjadi hak kita. Tentang bagaimana tersenyum dalam tangis. Tentang bagaimana merelekan. Tentang bagaimana berhenti membenci orang yang telah menyakiti kita. Tentang bagaimana menjadi wanita kuat. Dan yang terpenting tanpa sadar Berlin mengajarkan saya bahwa BAHAGIA adalah pilihan. Dan bahkan setelah luka mendalam, bahagia tetap ada.

Saya tidak yakin masih bisa menjadi temannya. Saya tidak yakin masih bisa tersenyum untuknya. Saya tidak yakin masih bisa berdiri untuknya. Namun sekali lagi, saya tidak membencinya.



Saya mengenangnya sebagai seorang teman yang mempunyai 5 senyuman; senyum spontan, senyum kalau dipuji, senyum sinis, senyum bila sedang dekat dengan buah hati kami,dan senyum bila sedang menceritakan tentang teman – temannya. :)

Untuk Berlin dimanapun kamu berada. Tuhan menyertaimu.

Back sound: Time of your life - Green day
So take the photographs, and still frames in your mind
Hang it on a shelf in good health and good time
Tattoos and memories and dead skin on trial
For what it's worth it was worth all the while

It's something unpredictable, but in the end is right,
I hope you had the time of your life.


*pembaharuan dari tulisan saya "Testimoni" pada blog terdahulu saya www.trulydb.blogspot.com

Be true. Be you.

“If you want to be trusted, be honest.
If you want to be honest, be true.
If you want to be true, be you” – Anonymous


Benar adanya bahwa pengalaman –entah pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain- adalah guru. Saya selalu menganggap hidup yang dijalani sebagai sekolah, dan orang-orang yang ada di dalamnya sebagai guru. Entah baik atau buruk, tapi semua orang adalah guru yang –pasti- bukan tanpa sengaja ditempatkan Tuhan dalam kehidupan kita. 
Akhir-akhir ini saya banyak belajar dari pengalaman orang-orang sekitar.

Terkadang manusia tidak memerankan dirinya sendiri dalam situasi-situasi tertentu. Demi alasan tertentu, manusia cenderung menipu sekitarnya. Ada yang terang-terangan untuk menarik perhatian, ada yang hanya sekedar supaya dianggap kren, ada yang dengan sengaja tak ingin kehidupan aslinya diketahui, atau ada pula yang sekedar menikmati ‘menjadi’ orang lain. Hal ini marak terjadi, terlebih dalam pergaulan di sosial media, dimana menjadi orang lain sangatlah mudah.

Bertentangan dengan itu, satu hal yang saya simpulkan akhir-akhir ini adalah bahwa ternyata menjadi diri sendiri adalah peran yang sangat ‘gampang’ untuk dimainkan. Bagaimana tidak, oleh yang Maha Kuasa kita telah ditentukan untuk menjadi diri kita masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangan kita. Lalu kenapa harus ‘menjadi orang lain’?

Menjadi diri sendiri adalah hal paling jujur yang mudah namun dipersulit oleh manusia. Dipersulit oleh sifat iri, cemburu, dengkih, dan sejenisnya. Alhasil, manusia sering melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukannya, seperti berbohong atau mencurangi orang lain, yang pada akhirnya berdampak tidak baik untuk dirinya sendiri.


Mulailah dengan bertanya pada diri sendiri “Siapakah saya sebenarnya?” Saya sering berhenti pada titik-titik tertentu, untuk kembali mengingatkan diri dengan pertanyaan ini. Siapakah saya sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan membuat kita bersyukur dan enggan menjadi orang lain selain diri sendiri.

Ingatlah bahwa tidak ada orang yang sempurna. Maka percuma bersusah payah menjadi orang lain, karena lebih nyata menjadi diri sendiri.

Be true. Be You. Kita terlahir asli,mengapa harus menjadi palsu?


Back sound: Nobody’s perfect – Miley Cyrus
Nobody’s perfect
I gotta work it
Again and again.
Til I get it right

Friday 17 April 2015

Hesty

Masih dalam suasana bersyukur telah ditambahkan setahun usia dari yang kuasa, hari ini ‘ketuaan’ saya mengingatkan saya pada seseorang yang tidak pernah sadar bahwa dia hebat.
Bertambah usia membuat saya merenung tentang apa saja yang sudah dan belum saya lakukan sejauh ini.

Perenungan ini membawa saya pada seorang wanita bernama Hesty.
Dia adalah seorang tukang cuci keliling di kompleks perumahan kami. Usianya beberapa tahun lebih muda dari saya. Dia tinggal di sebuah -katakanlah- gubuk di belakang kompleks perumahan kami beserta ketiga anaknya, Jerry (9), Benny (8), dan Vecky (2).. Suaminya, *tarik napas* bernama Yani, pria pengangguran, tak bertanggung jawab, yang baru saja memiliki anak bersama seorang wanita PSK*, dan sering masuk keluar bui karena banyak kejahatan. Kejahatan terakhirnya adalah KDRT**, yang menyebabkan Hesty babak belur. Sekitar beberapa minggu lalu, dia baru saja dibebaskan dari tahanan. Namun, bakat menyiksa&memukul seperti sudah mendarah daging.
Dua malam minggu lalu, yang adalah malam paskah, di saat semua warga kompleks sedang sibuk menyambut paskah di kompleks perumahan sebelah, Yani -kembali- menganiaya Hesty. Kali ini lebih sadis&kejam. Entah apa yang mereka ributkan sebelumnya, kabar yang kami dengar, Hesti dilempari tempat sampah besar, ditendang masuk selokan, diinjak-injak seperti becek, dan dipukuli dengan besi. Hasilnya.. Tulang lengan Hesty patah, wajahnya biru dan bengkak, matanya hampir tak bisa dibuka. Dipastikan untuk enam bulan kedepan, Hesty tak bisa bekerja. Anak-anaknya untuk sementara tinggal di rumah tetangga kami, sementara Hesty tinggal di rumah tetangga kami yang lain. Warga tak menginjinkan mereka tinggal di tempat mereka sebelumnya. Takut, kalau-kalau Yani muncul, dan menghabisinya lagi.
Seperti biasa Yani menghilang.

Kisah Hesty membuat saya berpikir panjang tentang arti menjadi seorang mama dan istri. Cintanya pada anak-anaknya terbukti lewat kerja kerasnya yang seperti tak ada habis-habisnya. Jadwal mencucinya sangat padat. Semua itu demi uang sekolah dan uang jajan anak-anaknya. Si bungsu Vecky yg bahkan baru berusia 2 tahun, seperti mengerti apa yang mamanya lakukan. Ia tak pernah rewel, dan mau saja dititipkan sana sini bila mamanya harus bekerja. Kedua kakaknya, bahkan tak jarang terpaksa bolos sekolah karena harus menjaga adik mereka. Beny kadang ikut para tukang mengangkut pasir. Sekedar untuk membawa pulang Rp. 5000 yang diberikannya pada sang mama dengan pesan “ini buat tambah-tambah beli beras”.
Ckckck.. Dari mana mereka belajar semua itu? Dari mama mereka, yang tau betul apa yang harus ia lakukan untuk hidupnya dan anak-anaknya. Sementara sebagai seorang istri, Hesty punya 2 hal.. "Cinta dan maaf". Apakah kita bisa seperti Hesty? Menerima suami kita kembali setelah dianiaya berulang kali? Apakah kita masih mempunyai cinta dan maaf untuk suami yang memiliki anak dari wanita lain? Hesty punya itu.
Dan ibaratnya menghargai orang yang berbeda keyakinan dengan kita, saya pun menghargai keputusan Hesty untuk tetap memaafkan dan mencintai Yani.

Hari ini, saya belajar dari Hesty. Seorang wanita muda yang kuat, yang sama sekali tak merasa dirinya special. Wanita lugu berhati baja.
Saya ingin memiliki hati seperti Hesty.
Semoga kamu cepat pulih, Hesty.
Tuhan menjagamu dan anak-anakmu.


Back sound: Superwoman - Alicia Keys
For all the mothers fighting
For better days to come
And all my women, all my women sitting here trying
To come home before the sun
And all my sisters
Coming together
Say yes I will
Yes I can


*PSK adalah singkatan dari: Pekerja sex komersial
**KDRT adalah singkatan dari: Kekerasan dalam rumah tangga

Wednesday 15 April 2015

Little Elle vs my sin*

Hampir jam 11 malam namaku dipanggil…
Sekilas sang jubah putih menatapku
Oh God, apa sakitku..?

Sang jubah putih kemudian angkat bicara:
”Mmm, sudah jalan 5 bulan ini...”

Ya, Tuhan ampuni dosaku.....
(Surabaya, Klinik Pusura, 3 April 2002)


Aku selalu percaya hidup seseorang bisa berubah dalam sepersekian detik. Aku mengalaminya. Aku mengilhaminya. Hanya dengan kurang lebih 6 kata, seseorang mengubah hidupku. Memvonis aku sebagai pendosa. Walau aku sadar – sesadar sadarnya, bahwa bukan dia yang menyebabkabkan aku seperti itu melainkan aku sendiri yang melakukannya. Dia hanya sebagai penyampai pesan dari yang di atas, menyadarkan aku dari kebodohanku yang paling bodoh (bukan atas dosa yg kulakukan tapi atas kealpaanku karena dosa yg kulakukan).

Ya, aku adalah pendosa! Ibaratnya kejahatan aku adalah tersangka pembunuhan paling sadis yang harus diasingkan dari penghuni sel yang lain.
Dosaku kini berlipat, hukumanku pasti siksaan diatas kursi listrik atau kurungan sel seumur hidup tanpa grasi walaupun aku bersikap baik dalam sel.
Ah, mungkin terdengar berlebihan oleh kalian, tapi sungguh mati, pada saat itu aku merasakanm penyesalan yang tak bisa aku artikan. Serasa malam itu adalah malam terakhir aku. Tak dapat aku bayangkan akan adanya hari esok. Karena aku tak tau bagaimana menghadapi hari esok.

Ditengah – tengah chaos itu, tiba – tiba aku terganggu pada gerakan halus dibalik bajuku. Ada ’sesuatu’ di dalam tubuhku. ’ia’ bergerak dibalik lapisan perutku. Sebuah refleksitas mengantar tanganku pada’nya’, Membuat aku mengelusnya, dan menyanyikan lulaby. Ah, dosa itu. Aku mendapati diriku mengelus dan meninabobokan dosa penghancur hidupku tersebut. Ya, Tuhan satu lagi dosa kulakuakan dengan mengatai’nya’ dosa penghancur hidupku sementara aku sadar – sesadar sadarnyanya bahwa akulah pendosa itu, akulah terosis itu bukan ’dia’.

Pada akhirnya aku capek sendiri menganggap diriku jahat. Karena aku bukan penjahat. Aku mulia di mata Tuhan, sampai – sampai DIA mempercayakan aku membuat dosa itu disaat aku merasa tak sanggup. DIA mempercayakan aku menjadi orang paling bahagia lewat dosa yang pernah aku lakukan. Dosa terindah yang justru mempertemukan aku dengan mahkluk terindah yang pernah DIA ciptakan di muka bumi dan mengijinkan aku menghabiskan hidupku bersamanya.

Mirelle Daphney Pelmelay (Elle)


Sebuah catatan untuk Mirelle Daphney Pelmelay, sahabat kecilku, yang tanpa disadarinya telah membentuk aku menjadi wanita yang kuat.
Danke, kaka Elle. :*

Back sound: Little L - Jamiroquai
Seems like you're stepping on the pieces
of my broken shell
'cause you make me love you, love you
with a little L you know
that's the way you make me love you yeah



*Di-post ulang dari blog saya terdahulu: www.trulydb.blogspot.com

Catatan sore: Dari Kepo sampai ke Ape

(Dipost ulang dari salah satu note saya di Facebook, 2012)

Sore-sore mojok sendirian di salah satu restoran fast food di kota Ambon, KFC.
Banyak sekali pemandangn yang menarik dan menggelitik.

Cerita 1:
Sepasang ABG berseragam almamater saya sedang serius meggenggam blackberry –yang belakangan diketahui sedang bertukar bb-. Sekalikali yang perempuan dengan manja bertanya sambil menunjukan bb yang sedang digenggamnya. Karena meja mereka tepat berada di depan meja saya, maka saya bisa dengan sangat jelas mendengar percakapan mereka.
Perempuan : ini kapan? *wajah manja*
Lakilaki : minggu lalu kappa ee..
Perempuan : Oooo.. yang kamong pi ke Armand rumah tu?
Lakilaki : Iyooo..

Selanjutnya mereka kembali ke kesibukan sebelumnya, memeriksa bb pasangan.
Tak ada komunikasi di antara keduanya, yang tergambar dari wajah si perempuan adalah ‘aku harus membersihkan foto-foto/sms/kontak bbm/chat yang tak seharusnya ada’. Sementara wajah si laki-laki lebih terlihat seperti ‘yatuhan,, apa sms si anu sudah aku hapus tadi?’. Wajahnya tegang dan semakin menegang ketika si perempuan memecah keheningan diantara mereka..
Perempuan : No siapa ini? *straight face*
Lakilaki : Mana? *sok bingung*
Perempuan : ini yang di call log. Tadi malam jam 2.13, telpon 46 menit.
Lakilaki : Itu sapa eee? *gugup*
Perempuan : Hee? baru tadi malam masa se su lupa?? Capat ini sapa?? Beta telpon eee… *ngancam*
Lakilaki : Aooo.. mana beta liaaa.. suda nanti beta yang telpon saja.. *membetulkan kerag kemeja*
Perempuan : Kasi beta bb. *mata berkacakaca*
Lakilaki : *memberikan bb*
Perempuan : *Menekan-nekan sesuatu pada bb miliknya, sambil sesekali melihat bb sang pacar*

Dugaan saya, si perempuan sedang memasukan no hp misterius itu ke bb miliknya.

Kemudian dia mengembalikan bb pacarnya, menuju toilet, kembali, mengambil tas, dan tanpa kata-kata meninggalkan sang pacar yang masih sibuk menggenggam bbnya. Sang pacar kemudian cepat-cepat berdiri dan mengikuti si perempuan.

Moral value:
*Carilah kegiatan yang lebih bermanfaat di saat pacaran.
*Ade-ade, sejak pacaran biasakan gadget harus dilock,dan password-nya jangan dibagi dengan pasangan. LOL

Cerita 2:
Sementara dua sejoli pada cerita 1 sedang duduk di meja depan, masuk beberapa ABG lainnya, yang ternyata mengenal sepasang sejoli tadi. Namun rombongan ini sudah tidak berseragam. Mereka terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki.

Setelah ber’hai-hai’ria dengan dua sejoli tadi, kelima remaja ini memilih duduk tepat dibelakang meja saya.

Saya mengamini ayat “Dimana dua atau lebih remaja berkumpul, di situ pasti ada pembicaraan mengenai remaja lain”.

Tak lama setelah duduk, salah satu diantara remaja putri itu berbisik kepada teman disampingnya “isaaa, kalo beta suda juaa.. beta seng akan kasi hp par beta pacar. Ada baru pacaran saja mooo”.
"Batul ade nona, kaka sepaham deng ade" dalam hati saya menanggapinya. LOL

Saya tersenyum geli menyaksikan drama di depan dan di belakang saya. Dan ketika sepasang sejoli tadi meninggalkan tempat dengan drama yang pilu, kelima remaja ini kembali ‘mendiskusikannya’. Kali ini suara salah satu lakilaki yang terdengar di balik kuping saya “Baku taru berapa-berapa, beta seratusribu! beta bilang dong 2 putus” yang lainnya berujar “Aoooow, paling jua sabantar su baku bae”. “suda juaaa sapa mo rugi seratus ribu par baku taru bodo-bodo”

Mereka kemudian tertawa bersama dan sepakat pindah ke meja yang tadi ditempati oleh sepasang sejoli itu.

Moral value:
Lebih baik taruhan seratus ribu dan kemudian batal timbang pasang togel. #jayus

Cerita 3:
Untunglah saya 'terselamatkan' dari dunia remaja dan gejolaknya ketika dua teman saya menghampiri dan duduk bersama di semeja dengan saya. Sambil mereka menyantap burger dan French fries, saya menceritakan cerita 1 kepada mereka dan kami tertawa bersama. Karena kebetulan kami lulusan sekolah yang sama dimana pemeran-pemeran pada cerita 1 dan 2 bersekolah, akhirnya cerita kami nyambung tak jauh-jauh dari almamater kami. Pembahasan seputar reuni angkatan saya yang belum lama usai, guru-guru, sampai pengakuan bahwa almamater kami kini memang semakin maju.

Sebelum mereka beranjak pergi, saya sempat berkata “Inilah yang akan terjadi beberapa belas tahun kedepan bila para remaja pada cerita 1 dan 2 bertemu kelak”. ☺

Moral Value:
High School memories are still a way not away.

Cerita 4:
Sesaat setelah itu, saya juga beranjak dan melanjutkan kegiatan saya sore itu dengan bertemu kakak dan sepupu saya di cafe lain, Maples. Saya menggunakan becak sore itu. Naik becak sore-sore sambil menikmati hiruk pikuk jalanan Ambon sangatlah menarik.

Hanya butuh waktu tak sampai 10 menit, saya pun tiba di Maples. Saya membayar sepuluhribu dan kemudian turun dari alat transportasi paling nyaman di kota Ambon itu.

Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam disitu, ketika akan meninggalkan Maples, saya tiba-tiba tersadar bahwa dompet saya hilang. Saya ingat betul terakhir menggenggam dompet ketika membayar si abang becak.

Akhirnya bersama kedua kakak saya, kami memutuskan kembali ke KFC. Setiba disana, saya menghampiri kerumunan tukang becak yang mangkal di situ. Aneh memang, ketika melihat saya, mereka langsung menyebut nama Ape. Padahal saya sama sekali belum meyampaikan maksud saya, sepertinya mereka tau sesuatu.
Menurut mereka, rekan mereka yang bernama Ape-lah yang tadi mengantar saya. Namun saat kami tiba, Ape sedang mengantar penumpang.

Kami menunggu sekitar 30 menit hingga akhirnya Ape datang. Namun saya bernasib sial. Dengan gugup dan acting paspasan, Ape berhasil berkelit dan mengelak bahwa bukan dia yang mengantar saya tadi. Dan saya pun tak punya bukti kuat.

Malam itu dompet beserta isinya harus saya relakan.

Moral value:
(untuk cerita 4, saya yakin masing-masing orang pasti punya moral value nya sendiri :) )

Tuesday 14 April 2015

Karena sesungguhnya merasa nyaman itu (tidak) nyaman

Akhir-akhir ini saya sering dicurhati tentang masalah-masalah percintaan yang tak jauh-jauh dari bahagianya jatuh cinta, jatuh cinta pada orang yang salah, CLBK*, diduakan, sampai cerita perselingkuhan. Dari semua cerita yang saya dengar dan simak, semua cerita punya satu kesamaan; para pelaku mengaku merasa nyaman.

Nyaman karena merasa dicintai. nyaman karena bisa berbagi cerita. nyaman karena menemukan suasana baru. Nyaman karena merasa bisa diterima. Intinya kenyamanan membuat mereka bahagia. Masing-masing mengutarakan kisahnya dengan bahagia. Saya menyimak cerita mereka dengan serius.
Cerita mereka rata-rata berakhir dengan kegalauan. dengan keraguan. dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya jauh dari kesan nyaman.

Sebenarnya saya tidak merasa cukup credible untuk mnjawab atau membantu mencari jalan keluar, maka kepada beberapa dari mereka saya memberi perumpamaan sperti begini; Rasa nyaman adalah ketika kita duduk atau rebahan santai seharian depan TV, menikmati film serie favorit, atau main play station, atau melakukan hal menarik lainnya yang mebuat kita nyaman tanpa memperdulikan waktu, orang-orang sekitar, dan kegiatan lain yang seharusnya kita lakukan. Bukankah itu suatu kenyamanan yang sulit untuk kita tolak? Kenyamanan yang ingin kita nikmati selamanya. Yang rasa-rasanya tak mau kita sudahi. Namun kita tidak mungkin selamanya duduk depan TV bukan? Kita tidak mungkin selamanya bermalas-malasan menikmati kenyamanan itu. Ada saatnya –mau tidak mau- kita harus beranjak untuk melakukan hal-hal lain. Di saat itu kenyamanan berakhir, hidup berlanjut. Memang kita akan kembali duduk disitu, tapi apakah kita akan merasakan kenyamanan yang sama? Apakah kursi itu masih kosong seperti sebelumnya? Ini adalah ketidakpastian.

Banyak dari kita terkadang enggan mengalami perubahan. Kita lebih memilih tinggal daripada beranjak. Lebih memilih menderita daripada malu. Memilih nyaman daripada sakit hati. Memilih melanjutkan daripada menghentikan. Sebagai pembenaran, kita sering berujar “Saya juga tidak tau kenapa bisa jadi begini” atau “Saya bingung harus bagaimana” atau “Semuanya mengalir alami”.

Ujaran-ujaran tersebut sama sekali tidak mendasar. Bagaimana mungkin kita tidak tau apa yang kita lakukan atau mengapa kita bisa sampai melakukan sesuatu? Bukankah itu konyol? Itu kelemahan. Memang kelemahan bukan aib. Tapi kelemahan yang kita lakukan dengan sadar –namun berdalih tidak sadar- adalah kelemahan yang seharusnya tidak ada. Kitalah yang harus menguasai diri atas semua yang kita lakukan. Seperti kata Miley Cyrus; We run things, things don’t run we**.

Sekali lagi saya katakan, saya tidak merasa cukup credible untuk memberi saran, namun tips yang saya ‘jagokan’ dan selalu saya berikan adalah “ Nikmati apa yang bisa dinikmati selama bisa, namun tetap membumi. Tetap berpijak di tanah. Jangan melayang barang sedikitpun dari bumi tempatmu berpijak”

Quote of the day:
Follow your heart but take your brain with you – Anonymous       

*CLBK adalah singkatan yang seringdipakai untuk Cinta Lama Bersemi Kembali
**Sepenggal lirik pada lagu Miley Cyrus yang berjudul We can’t stop

              

Monday 6 April 2015

Transformasi

5 April 2015, Saya bertambah usia menjadi 37. Tua? Tidak! Saya tidak pernah merasa tua. :)

Usia 37 menjadi special buat saya ketika banyak hal luar biasa muncul di angka itu. Satu hal yang selalu saya sukai dari diri saya adalah bahwa saya tak pernah merasa tua :)

Saya senang melakukan hal-hal yang –mungkin- bagi orang-orang seusia saya dianggap kekanank-kanakan. Tapi saya tidak peduli. Selama apa yang saya lakukan tidak merugikan orang lain.

Pantang bagi saya merasa diri sebagai emak2, walaupun saya memang emak beranak 3.
Namun memberlakukan sistem "persahabatan" di antara anak-anak dan saya rupanya berhasil mengaburkan aura emak2 dalam diri saya tanpa menghilangkan jiwa keibuan saya di hati mereka.

Sahabat-sahabat kecil saya

Membiasakan Elle dan Dee* memanggil saya "deb" bukanlah suatu usaha untuk tak mau menjadi ibu mereka, justru sebaliknya hubungan kami menjadi lebih erat.


    
                                                   

Di usia 37, ada sekitar 150 anak sekolah yang memanggil saya “ma'am, miss, atau md”. Dan saya bangga. bangga karena saya bukan guru di sekolah formal, tapi bisa menjadi guru sekaligus sahabat bagi mereka.

Di usia 37, saya –masih senang- bergaul dengan mereka yang jauh lebih muda dari saya.
Kami sering nongkrong bersama, berpose depan kamera, tertawa lepas,dan mereka kerap mempercayakan curahan hati kepada saya.

Saya senang berada diantara mereka yang mungkin bagi sebagian orang yang berumuran seperti saya dianggap ‘kurang kerjaan'.
Tapi sekali lagi, saya senang! dan saya tidak merasa merugikan dan mencampuri kepentingan orang lain.

Di usia 37 saya semakin sadar bahwa berdamai dengan diri sendiri adalah kunci untuk bangkit dari kejatuhan. saya semakin mencintai diri saya, yang bukan berarti egois tetapi justru membuat saya semakin mencintai sesama seperti saya mencintai diri saya. Saya semakin terbiasa menerima kenyataan-kenyataan yang tadinya susah dicerna oleh pikiran. Saya juga semakin memahami bahwa memaafkan dan mengampuni orang yang telah menyakiti kita tidaklah segampang mengembalikan telapak tangan, tetapi juga tidak sesulit menyebrangi laut lepas.

Di usia 37, saya belajar untuk ikhlas seikhlas-ikhlasnya untuk melepaskan dan bersyukur sedalam-dalamnya atas berkat yang diberikan untuk saya.

Di usia 37, saya benar-benar meyakini bahwa Tuhan telah mengatur segala sesuatu indah pada waktunya. Dan bahwa Tuhan hanya sejauh doa.

Di usia 37, saya memutuskan untuk bertransformasi ke tahapan hidup yang –mungkin akan- lebih sulit dari sebelumnya. Ke tahapan hidup, dimana tanggung jawab saya terhadap Elle dan Dee harus lebih saya utamakan diatas kepentingan siapapun atau apapun di dunia ini. Tahapan dimana saya percaya bahwa ‘sendiri’ bukan berarti runtuh dan ‘bersatu’ tidak selamanya berarti teguh.

Transformasi berarti siap dibentuk lebih sempurna.
Transformasi berarti menjadi lebih matang dari sebelumnya.
Transformasi berarti meninggalkan yang lama dan menjadi lebih baik.
Transformasi berarti belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu.
Transformasi berarti siap ‘terbang’ lebih tinggi dan jauh.
Transformasi berarti menjadi lebih baik.


Sebagai transformasi, di usia 37 -dengan ikhlas dan bersyukur, lewat tulisan pertama di blog saya ini- untuk pertama kalinya di depan publik, saya mengaku sebagai single parent. Walau saya sadar bahwa keputusan yang saya ambil tidaklah mudah, dan bahwa –mungkin- nasib saya tidaklah seberuntung kalian yang sedang membaca tulisan ini, Tapi saya memutuskan untuk BAHAGIA.



Quote of the day:
If someone becomes their own bestfriends, their lives will be easier – Anonymous



* Elle dan Dee adalah putri-putri saya, Mirelle Daphney dan Divya Manjusha Pelmelay. di antara mereka, ada seorang malaikat tampan bernama Ezekiel Mischa Pelmelay yang kini berada tenang di pangkuan Bapa di Sorga.