Saya pernah membaca salah satu tulisan Perempuansore pada blognya. Sebuah ungkapan yang terngiang-ngiang; “Ketika ada orang yang ‘pergi’ dari kehidupan kita, baik itu sengaja maupun tidak sengaja, itu karena satu alasan: waktu mereka bersama kita telah selesai”.
Tulisan ini saya gubah dari tulisan lama saya di blog terdahulu* tentang seseorang yang telah ‘pergi’ dari kehidupan saya. Hmm.. atau mungkin sebaliknya saya-lah yang telah ‘pergi’ dari kehidupannya. Atau lebih tepatnya kami saling meninggalkan.
Namanya Berlin. Saya mengenalnya sekitar 15 tahun lalu. Dan menghabiskan sekitar 14 tahun bersamanya. Berbagi kasih sayang, berbagi buah hati, dan dengan tidak main-main berbagi hal yang paling pribadi; HIDUP.
Setelah 14 tahun menjadi teman hidup, kami saling meninggalkan begitu saja. Menyesal? Tidak!
Seperti halnya semua makhluk ciptaanNya, Tuhan menciptakan Berlin dengan keunikannya. Satu hal yang tidak pernah bisa kami kesampingkan selama menjadi teman hidup adalah; ego. Ego menguasai kami hingga kami membangun dunia kami masing-masing. Kami semakin saling menjauh dan tenggelam dalam dunia masing-masing. Sambil sesekali masih saling menyapa, namun semakin menjauh. menjauh. menjauh. Sampai kemudian tidak lagi saling menyapa. Tidak lagi saling peduli.
Suatu saat dia bertanya “Benarkah ‘kita berdua’ pernah ada?” Saya terdiam. Berlin tak pernah bertanya. Dia lebih sering memiliki jawaban atas segala pertanyaan saya. Pertanda apakah ini? Saya menatapnya mencari sesuatu di matanya. Sesuatu yang dulu saya temukan di sana. Namun sekarang tidak ada lagi. Lalu saya berkata padanya “Dulu ‘kita berdua’ nyata. Saya merasakannya. Saya yakin kamu juga. Tapi sekarang tidak lagi. Hanya itu. Semudah itu jawabannya” dia mengangguk lalu kemudian kami lebih jauh berjalan ke arah yang berbeda.
Semakin hari semakin jauh. Kemudian hilang. Sejauh mata memandang, saya tidak menemukan sosoknya lagi.
Saya tidak tau di mana dia berada kini. Namun saya tidak peduli. Saya juga tidak membencinya. Tidak pernah.
Karena saya belajar banyak dari Berlin. Tentang bagaimana mencintai dan dicintai. Tentang bagaimana mengalah (untuk menang) dalam perang. Tentang bagaimana menjaga hati. Tentang bagaimana berjuang untuk sesuatu yang menjadi hak kita. Tentang bagaimana tersenyum dalam tangis. Tentang bagaimana merelekan. Tentang bagaimana berhenti membenci orang yang telah menyakiti kita. Tentang bagaimana menjadi wanita kuat. Dan yang terpenting tanpa sadar Berlin mengajarkan saya bahwa BAHAGIA adalah pilihan. Dan bahkan setelah luka mendalam, bahagia tetap ada.
Saya tidak yakin masih bisa menjadi temannya. Saya tidak yakin masih bisa tersenyum untuknya. Saya tidak yakin masih bisa berdiri untuknya. Namun sekali lagi, saya tidak membencinya.
Saya mengenangnya sebagai seorang teman yang mempunyai 5 senyuman; senyum spontan, senyum kalau dipuji, senyum sinis, senyum bila sedang dekat dengan buah hati kami,dan senyum bila sedang menceritakan tentang teman – temannya. :)
Untuk Berlin dimanapun kamu berada. Tuhan menyertaimu.
So take the photographs, and still frames in your mind
Hang it on a shelf in good health and good time
Tattoos and memories and dead skin on trial
For what it's worth it was worth all the while
It's something unpredictable, but in the end is right,
I hope you had the time of your life.
*pembaharuan dari tulisan saya "Testimoni" pada blog terdahulu saya www.trulydb.blogspot.com