Wednesday 27 January 2016

Teman (se)Jiwa

Akhir – akhir ini aku dikelilingi cinta. Mmm sebenarnya bukan cinta sih, tapi orang-orang yang sedang mabuk. Mabuk cinta :)
Aku senang melihat mereka bahagia. Karena aku percaya, berada di sekeliling orang-orang yang bahagia, akan mendatangkan hal-hal baik. Hal-hal positif. Aura positif :)

Walau aku sudah lama tak mengimani CINTA…

Selama ini satu-satunya CINTA yang aku percaya hanyalah CINTA Yesus kepada manusia, Namun baru-baru ini aku nyaris dikelabui oleh CINTA. Aku nyaris percaya akan eksistensi CINTA antara manusia, Tapi lagi-lagi terbukti bahwa CINTA itu ilusi. Maaf, bagi yang tidak sepaham. Menurut aku, urusan percaya ada atau tidaknya CINTA dalam hubungan horizontal antar manusia, sama halnya dengan urusan keyakinan. Urusan agama. Berbeda-beda.

Lalu aku berpikir, kalau bukan CINTA, apa ini namanya? Perasaan bahagia, cemburu, marah, pasrah, tergantung. berbagi. Semua hal-hal tadi menjadi indah untuk dilakukan. Bersama-sama. Berdua. Aku bisa menjadi apa adanya diriku bila bersamanya. Bertengkar seperti pasangan suami istri, bebas bercerita apa saja seperti sahabat, bersenang-senang selayaknya bocah, dan saling menjaga seperti saudara kandung. Terdengar sangat ideal. 
Apa ini CINTA? Aku nyaris percaya! Namun tiba-tiba, aku tersadar, ini tidak abadi! Tidak ada yang abadi.


Lalu apa namanya keindahan tadi?? Seperti sedang memecahkan soal matematika, berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Aku terus berpikir, apa ini namanya? Kemarin pagi, aku berdiskusi dengan seorang teman tentang CINTA. Dia, adalah penganut fanatik CINTA. Dia percaya CINTA itu nyata. Aku bertanya “How big do you put your trust in LOVE?” Dengan tegas dia menjawab “All of them”, katanya lagi “LOVE doesn’t hurt. Loneliness hurts, rejection hurts, losing someone hurts, envy hurts. Everyone got the things confused with LOVE. The reality is LOVE is the only thing in this world that convers up all pain and makes someone feel wonderful again

Hmmm ulasan yang masuk akal, pikirku. Bukan masuk akal sebenarnya, tapi manusiawi. Aku sempat terdiam dan berpikir benarkah demikian? Hingga pagi tadi! Tiba-tiba aku menyadari satu hal. yaitu tentang pasangan jiwa.

Tentang dia, yang aku ceritakan tadi, aku menganggapnya teman jiwa. Kami memiliki satu jiwa. Kami berbagi jiwa. Karena itu kami bisa tampil apa adanya di depan masing-masing. Kami saling menjaga. Karena kami teman sejiwa. Menjaga dia, sama seperti menjaga jiwaku. Kami berbagi bahagia. Karena bahagianya, adalah bahagiaku. Karena kami teman sejiwa. Pasangan jiwa. Soulmate.

Lalu, mengapa tak bisa hidup bersama? Baru tadi pagi pula aku menemukan jawabannya. Karena teman hidup dan teman jiwa itu berbeda. Berbagi hidup memerlukan yang namanya CINTA. Bayangkan saja bila kita menghabiskan hidup bersama seseorang tanpa rasa CINTA. Tak bahagia pastinya. Aku jamin itu! Kalaupun ada yang mengaku bahagia, maka maaf jika aku tak peracaya. :)


Lain hal dengan teman jiwa. Teman jiwa tak perlu hidup bersama. tak perlu pengakuan semua orang bahwa mereka pasangan. Karena teman jiwa adalah urusan dua jiwa. Tidak lebih. Teman jiwa bukan pilihan. Melainkan reaksi alami yang timbul karena dua jiwa yang saling mengikat. Saling mengisi kebutuhan masing-masing. Kebutuhan jiwa. Yang menurutku lebih penting. 

Alangkah bahagianya bila teman hidup dan teman jiwa adalah sama. Tapi aku tak menyesal, karena seandainya dia adalah juga teman hidupku, belum tentu kami bisa se-terikat ini.

Dan aku tetap bahagia, walau tak berbagi hidup bersamanya.
Karena hidup bisa berakhir tak bersama. Tapi jiwa, tak mungkin saling meninggalkan :)